FORUM DISKUSI EKONOMI ISLAM - FORUM DISKUSI EKONOMI ISLAM - FORUM DISKUSI EKONOMI ISLAM - FORUM DISKUSI EKONOMI ISLAM - FORUM DISKUSI EKONOMI ISLAM - FORUM DISKUSI EKONOMI ISLAM

Cari di blog ini

MLM Syariah


Multi Level Marketing atau yang jamak kita kenal dengan sebutan MLM, merupakan salah satu jalan alternatif paling instan untuk mendapatkan pasif income. Cara ini cukup diminati banyak orang. MLM merupakan teknik pemasaran yang tergolong baru karena didalamnya terdapat teknik pemasaran berjenjang (levelisasi) dan teknik ini belum banyak dibahas di literatur pemasaran manapun.
Dalam kajian fiqih kontemporer bisnis MLM dapat ditinjau dari dua aspek produk barang atau jasa yang dijual dan cara ataupun sistem penjualan dan pemasarannya (trading/marketing). Jadi pada bisnis MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang bertingkat-tingkat. Teknik levelisasi itu sendiri sebenarnya teknik untuk menghubungkan produsen dengan konsumen. Dalam fiqh islam teknik tersebut dinamakan samsarah/simsar. Namun pada penerapannya, teknik tersebut tidak berhenti pada penghubungan antara produsen dan konsumen saja. Karena diantara kedua belah pihak masih banyak pihak yang saling menghubungkan (memakelari makelar). Hingga kini fakta tersebut masih menjadi salah satu dari sekian bahan perdebatan tentang hukum dari MLM.
Bagi yang menghalalkan MLM, bisa saja mereka ‘memaksa’ dalil-dalil qur’ani dan nabawi (hadits) agar menjadi relevan dengan visi perusahaan MLM tersebut. Sebagai contoh dalil dari hadits nabi yang artinya : “barangsiapa yang ingin murah rezekinya dan panjang umurnya maka hendaklah ia mempererat hubungan silaturahmi”. (HR.Bukhori). Dalil tersebut kemudian dikaitkan erat dengan salah satu approach yang jamak digunakan oleh MLM yaitu memprospek orang-orang terdekat untuk dijadikan downline-nya. Contoh lain dari al-qur’an yang artinya : “Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. Ayat tersebut kemudian dikorelasikan dengan training-training yang diadakan oleh para upline kepada downline-nya.
Pada kubu yang mengharamkan MLM,mereka berpedoman bahwa pada dasarnya praktik MLM berjalan diatas 2 unsur :
1.      Dua aqad dalam satu akad
2.      Mengambil prosentase yang bukan menjadi haknya.
Unsur yang pertama juga mengandung makna lain yaitu jual beli bersyarat. Sebagai ilustrasi, Fulan bisa menjadi anggota dari perusahaan MLM “Z” dengan syarat dia harus membeli produk dan mendapat 2 downline dalam dua minggu. Akad seperti ini adalah bhatil, karena “Rasulullah SAW melarang dua aqad dalam sebuah aqad jual beli.” [HR. Imam Ahmad].
-          Unsur kedua adalah bagian dari praktik makelar diatas makelar. Sebagai contoh, Upik adalah makelar dari Buyung untuk menjualkan sebuah mobil. Buyung mengatakan, bahwa mobil tersebut dijual seharga 100 juta, dan upik sebagai makelar akan memperoleh komisi sebesar 15% dari penjualan. Kemudian, Upik bertemu dengan Amar sebagai makelar yang lain. Upik berkata kepada Amar, “Jika kamu bisa menjualkan mobil Buyung, maka kamu mendapatkan prosentase 15%, dan saya mendapatkan komisi 10% dari kamu.” Komisi yang diambil Upik dari Amar sesungguhnya bukan komisi yang dibenarkan dalam syariat. Sebab, Upik bukanlah pemilik mobil, dan juga bukan pembeli mobil. Oleh karena itu, ia tidak boleh menetapkan ketetapan apapun, atau membuat perjanjian apapun dengan makelar yang lain, yakni Amar. Sesungguhnya, makelar hanya berhubungan dengan pemilik barang (shahib al-maal), atau pembeli barang. Ia tidak boleh berhubungan dengan makelar yang lain dalam hal menarik keuntungan, dan komisi.
Meskipun seandainya downline rela, namun bukan tentang kerelaan tersebut yang dipermasalahkan. Ini didasarkan bahwa sistem MLM-lah yang menyebabkan seseorang boleh mengambil prosentase dari downlinenya melalui sebuah mekanisme yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Padahal, prosentase yang diambil oleh upline merupakan penyerobotan atas hak. Jadi, permasalahannya adalah sistem MLM yang telah memaksa siapa saja yang terlibat di dalamnya untuk melakukan pengambilan sesuatu yang bukan haknya, bukan dilihat berdasarkan kerelaan atau keridloan downline-downlinenya atas prosentase yang diambil perusahaan yang kemudian diberikan kepada upline-nya.
Memang belum ada kesepakatan ulama tentang hukum bisnis MLM ini. Ada pihak tertentu, Hizbut Tahrir misalnya yang sudah memberikan hukum final yaitu haram. Dan ada pihak yang bersikap selektif. MLM tertentu dianggap syubhat dan MLM tertentu dianggap boleh. Persoalan tentang hukum MLM tidak bisa disamaratakan. Tidak pula disimpulkan dari masuk tidaknya perusahaan tersebut pada APLI (Asosiasi Penjual Langsung Indonesia). Label syariah pada sebuah perusahaan MLM tidak hanya harus memiliki bukti konkrit dari pihak terkait semacam MUI. Namun juga tergantung sejauh mana praktik manajemen, kegiatan operasional, marketing, dan barang komoditi yang diperjualbelikan.
Terlepas dari itu semua mari kita tela’ah sisi positif dan negatifnya dari kegiatan MLM tersebut :



Postitif
Negatif
1.      MLM dapat mendatangkan pasif income yang cukup menjanjikan sebagai tambahan gaji tetap yang diterima setiap bulan.
2.      MLM melatih setiap distributornya untuk mengasah skill berkomunikasi dengan downline-nya sehingga terbentuk jiwa personal selling yang kuat.
3.      Memperluas relasi.

1.      Distributor MLM bukanlah pengusaha (entrepreneur), namun hanya pengikut pada sebuah sistem hirarki yang rumit dimana mereka hanya punya sedikit kendali. Jadi mereka dikendalikan oleh sistem yang berlaku, tidak bisa bebas.
2.      MLM bedampak negative terhadap sektor riil. Jika manusia sudah tergila-gila dengan MLM, maka kegiatan sektor riil bakal terganggu. Karena didalam MLM, uang berputar hanya pada lingkungan perusahaan tersebut  dan sudah pasti mengurangi produktivitas masyarakat dalam bekerja (dalam makna sesungguhnya). Jadi, MLM membuat orang lain tidak mau berusaha memutar modal dalam kegiatan bisnis sektor riil. Padahal sektor riil butuh modal yang cukup besar.
3.      Efek poin nomor 3, dapat menjadikan seseorang berpola hidup hedonis. Ini merupakan dampak negative psikologis yang patut diwaspadai.
4.      Uang nasabah yang berputar pada bisnis MLM tidak dijamin keamanannya oleh pemerintah. Pada kemungkinan terburuk (likuidasi), uang milik nasabah MLM tidak dapat dikembalikan alias hangus.
5.      Bisnis MLM dicetuskan pertama kali oleh Negara barat. Di barat saja, bisnis ini telah dilarang oleh undang-undang karena kemudharatan yang ditimbulkannya. Maka bisa diartikan bahwa bisnis MLM di Indonesia lebih kapitalis dari kapitalis Barat.
 Prinsip mu’amalah dalam Islam menekankan adanya kejelasan asal-usul hasil bisnis. Dalam hal ini, imbalan yang diperoleh upline dan downline haruslah jelas darimana usulnya. Jika asal usul imbalan tidak jelas, maka minimal hukumnya syubhat. Kejelasan asal usul imbalan tersebut akan mengeliminir faktor gharar yang berpotensi terjadi pada bisnis MLM. Dan akad yang gharar diharamkan oleh islam.
Sebagai pertimbangan pembaca, bahwa pada masa lampau bisnis yang digagas oleh kaum yahudi ini telah berkembang pesat. Namun, kerena mereka begitu pandai mengelola uang, maka pemerintahannya mengeluarkan undang-undang yang dengan tegas melarang praktik MLM tersebut. Di daerah asalnya (Amerika dan Eropa) bisnis ini telah ditinggalkan karena bertentangan dengan teori dan logika ekonomi. Mereka merasa bahwa bisnis MLM ternyata tidak logis dan merupakan penipuan besar. Bila perkembangan MLM ini berada pada pertumbuhan yang stagnan apalagi menurun, maka terjadilah kehancuran bisnis tersebut.
Dari pembahasan diatas, seyogyanya kita dapat mengambil keputusan yang bijak terhadap bisnis MLM baik yang konvensional maupun yang telah berlabel syariah.
Wallahua’lam bis showab.